Sepucuk surat untuk adikku tersayang
Kisah ini bermula ketika keluargaku mengadakan doa peringatan setahun meninggalnya adikku, Erik. Mama memesan makanan kesukaan Erik, es krim vanilla dan cake stroberi untuk suguhan tamu. Aku masih ingat kali terakhir kami makan es krim bersama. Mama menyiapkan ruang tamu dengan air mata terus bercucuran. Seperti biasa, Papa tak banyak bicara. Rasanya kesedihan ini tak akan berakhir. Aku masuk ke kamarku, menangis diam-diam. Dan mencoba menulis surat untuk Erik, sesuai pesan terakhirnya, “Kalau saya meninggal, jika perlu sesuatu, tulis saja surat kepadaku. Ikatkan pada balon dan biarkan terbang.”
Kali ini, aku ingin menuliskan semua kenangan sejak Erik lahir.
Erik, adikku tersayang,
Sebelum kamu lahir, aku anak satu-satunya di rumah. Apa pun yang kuinginkan, selalu aku dapatkan. Meskipun senang, rasanya sepi juga di rumah sendirian. Karena itu, ketika Mama bilang, aku akan segera punya adik, rasanya senang sekali. Kubayangkan adik kecilku yang hebat. Wajahmu mungkin akan mirip aku. Kubayangkan, kita akan selalu bersama. Makan bersama, bermain bersama dan jalan-jalan bersama.
Ketika kamu lahir, tak puas-puasnya aku memandangimu. Memegang tanganmu yang mungil, membelai pipimu yang halus lembut. Wajahmu mungil, lucu sekali.
Saat Mama membawamu pulang, kupamerkan kamu kepada teman-temanku. Mereka senang melihatmu. Kadang, mereka mencubitmu pelan pertanda sayang, tapi kamu diam saja. Dan kamu selalu diam tak bergerak, setiap kali disentuh.
Ketika kamu berumur 5 bulan, Mama dan Papa mulai risau. Sepertinya ada yang tidak beres denganmu. Sepertinya kamu tak pernah bergerak dan tak berasa jika disentuh. Suara tangisanmu juga terdengar aneh, hampir mirip bunyi anak kucing. Papa dan Mama lalu membawa berobat ke banyak dokter. Penyakitmu baru ketahuan ketika diperiksa dokter kedua belas. Katanya kamu menderita sindrom ‘tangisan kucing’.
Mama menanyakan seperti apa penyakitmu. Kata dokter, kamu tak pernah akan bisa berjalan, tak akan bisa bicara. Menurut dokter, 1 diantara 50.000 bayi mengalami kondisi ini dan menderita kecacatan.
Mama dan Papa kaget. Hatiku kesal, mengapa kamu harus mengalami kejadian buruk seperti ini. Ketika sampai di rumah, Mama menggendongmu sambil menangis. Aku memandangimu dan sedih, kamu tak akan bisa seperti anak lainnya.
Aku takut jadi omongan teman-teman, adikku cacat. Dan aku melakukan sesuatu yang sama sekali tak terduga, ‘tidak mengakui kamu sebagai adikku’. Papa dan Mama tidak tahu. Tapi aku keraskan hatiku, tak akan menyayangimu. Hatiku makin keras ketika melihat Papa dan Mama memberikan banyak perhatian dan kasih sayang kepadamu. Dengan berlalunya hari, rasa kesal berubah menjadi rasa marah, dan lalu jadi benci.
Mama tak pernah menyerah. Mama merasa harus berbuat sesuatu demi hidupmu. Setiap kali Mama meletakkan mainan di dekatmu, kamu berguling, bukan merangkak seperti bayi lain. Mama tampak sedih setiap kali mengambil mainan itu dan menyimpannya kembali. Mengikat perutmu dengan busa sehingga kamu tidak berguling. Kamu meronta, menangis, dan mengeluarkan suara seperti bunyi anak kucing. Tapi Mama tetap tidak menyerah.
Lalu suatu hari, kamu membantah kata-kata para dokter. Kamu mulai merangkak. Melihat ini, Mama yakin, kamu akan bisa jalan, ketika kamu masih merangkak pada umur 4 tahun, Mama meletakkan kamu di rerumputan di pekarangan rumah. Dan kamu ditinggalkan di sana. Kadang, aku melihat kamu dari jendela, tersenyum melihat kamu kelabakan karena tak senang rumput mengenai kulitmu. Kamu akan merangkak ke jalan semen, tapi Mama membawamu kembali ke rumput. Terus dan terus begitu setiap kali kamu merangkak ke jalan semen. Sampai suatu hari, Mama melihat kamu menarik dirimu ke atas begitu kakimu menyentuh rumput.
Mama tertawa dan menangis, lalu berteriak memanggil Papa. Papa memelukmu dan menangis. Aku melihat semua ini dari jendela kamarku.
Mama lalu mulai mengajarimu bicara, membaca, dan menulis. Sejak itu, kadang aku melihatmu berjalan ke luar rumah, membaui bunga-bunga, mengamati burung-burung, atau hanya senyum sendiri. Aku mulai melihat indahnya dunia lewat matamu. Di saat itu aku sadar, kamu adalah adikku, dan sekeras apa pun usahaku untuk membencimu, aku tak akan bisa karena aku mulai sayang padamu.
Sejak itu, kita sering main bersama. Aku membelikan mainan dan memberikan semua rasa sayangku kepadamu. Dan kamu akan membalasnya dengan tersenyum dan memelukku. Tapi aku merasa, sepertinya kami tak akan pernah benar-benar bisa memilikimu. Pada ulang tahunmu yang ke-10, kamu menderita sakit kepala parah. Diagnosis dokter, kamu menderita leukemia. Mama menangis. Papa segera memeluknya. Aku ikut menangis. Di saat itu, aku merasa makin sayang kepadamu. Aku ingin setiap saat bersamamu, tak ingin berjauhan darimu.
Menurut dokter, satu-satunya harapanmu untuk hidup adalah cangkok sumsum tulang belakang. Kamu jadi berita karena mencari donor di seluruh negara. Ketika akhirnya di temukan donor yang cocok, kamu sudah terlalu lemah. Dokter memutuskan pengobatan dengan kemoterapi dan radiasi.
Meskipun sangat menderita, kamu tetap bersemangat dan gembira. Sebulan sebelum meninggal, kamu menyuruh aku membuatkan daftar tentang hal-hal yang ingin kamu lakukan jika keluar dari rumah sakit. Sesudah itu, kamu minta dokter untuk mengizinkan kamu pulang ke rumah.
Di rumah, kita makan cake stroberi, es krim vanilla, memancing ikan, menerbangkan layang-layang, melepas balon. Di saat itu kamu berkata,
“Kalau saya sudah meninggal nanti, jika perlu sesuatu, kirim saja surat ke surge. Ikatkan pada tali balon dan terbangkan.”
Aku menangis dan kamu memelukku. Sesudah itu, kamu sakit lagi dan kembali masuk ke rumah sakit.
Pada hari terakhir hidupmu, kamu minta air, minta punggungmu digosok, minta di peluk. Mendekati detik terakhir, kamu kejang. Air matamu bercucuran. Kamu berusaha bicara, tapi kata-katamu tidak keluar. Aku tahu apa yang ingin kamu katakan.
“Aku dengar,” bisikku.
Untuk terakhir kalinya aku berkata,
“Aku akan selalu sayang padamu. Aku tak pernah akan melupakanmu. Jangan takut. Kamu akan segera bersama Tuhan di surga.”
Lalu, dengan air mata berlinang deras, aku melihat anak laki-laki yang paling berani, menghembuskan napas terakhir.
Papa, Mama, dan aku menangis sampai rasanya tak ada lagi air mata yang bisa di kucurkan. Kamu akhirnya pergi meninggalkan kami untuk selamanya.
Sejak itu, kamu adalah sumber inspirasiku. Kamu mengajariku untuk mencintai hidup, menikmati hidup sampai sebesar-besarnya. Dengan kesederhanaan dan kejujuran, kamu menunjukkan kepadaku dunia yang penuh cinta dan perhatian. Kamu membuat aku sadar, yang paling penting dalam hidup ini adalah terus mencinta tanpa bertanya mengapa atau bagaimana. Tanpa menetapkan syarat atau batasan apa pun. Terima kasih adik kecilku, untuk semua kenangan hidup yang kamu berikan.
Tertanda,
Kakakmu Tersayang.
Tweet |
|
0 comments :