Kisah Super

Surat dari anakmu untuk Ibu




Halo Ibu,

Bu, entah mengapa aku menuliskan ini. Aku tahu ibu mungkin tak akan pernah membacanya. Kalaupun ibu membacanya, aku tak yakin ibu akan bisa memahaminya. Entahlah, aku ingin saja. Ada desakan dari dalam. Keinginan, itu saja. Bukankah sesuatu kita lakukan tak perlu selalu ada penjelasannya. Iya kan bu?

Bu, saat ini aku terpuruk. Aku merasa bersalah sekali, berdosa. Merasa bukanlah apa-apa, atau siapa-siapa. Aku remuk bu. Dan entahlah, mengapa di saat seperti itu aku akan selalu ingat kau Bu. Aku rindu kau. Selalu saja, selalu begitu. Selalu jika aku ingat kau, aku tak kuasa untuk tidak menangis Bu. Sampai saat ini aku belum bisa memberi sesuatu untuk ibu, aku belum bisa menjadi sesuatu (meski kau tak pernah minta sesuatu dariku bu).

Bu, waktu semakin berjalan ya. Entah sudah berapa umur ibu. Kau dulu cuma bilang kalau kau lahir di tahun 1955, itupun kau ragu. Itu berarti 53 tahun yang lalu. Ah ibu semakin menua, tapi ibu tak pernah mau berhenti menjadi ibu. Menjadi ibu adalah karunia terbesar yang diberikan Tuhan , mungkin itu pikiranmu bu. Kami kini semua beranjak dewasa bu. Dan bungsumu, aku, telah menginjak semester kedelapan perkuliahannya. Do’akan ya bu, do’akan ini semester terakhir bungsumu ini. Do’akan semoga dengan itu bungsumu ini bisa lebih bermanfaat.

Bu, aku ingin membahagiakanmu. Aku ingin kau tersenyum di hari wisudaku, menatap bangga anakmu memakai toga kebesaran. Dan ibu menciumku, menggumamakan sesuatu, yang pasti do’a, yang kutahu tak pernah lupa untuk ibu panjatkan.

Bu, aku tak ingin menangis. Tapi entah mengapa aku menangis menuliskan ini. Apakah karena aku belum bisa memberi yang terbaik buat ibu. Bu, aku cinta ibu, aku cinta ibu karena Tuhan. Tahukah ibu, itu kalimat siapa? Itu adalah kalimat Delisa yang ia ucapakan pada ummi dan abinya. Ah, ibu tak akan tahu siapa delisa itu. Dia anak-anak yang masin berusia 6 tahun bu. Ia hanyalah tokoh rekaan dalam sebuah novel (ibu tahu novel tidak?). Tapi mengapa ia terasa begitu nyata bagiku, ia terasa hidup, ia seolah anakku, seolah adikku, dan seolah diriku sendiri. Saat itu bu, aku tak kuasa untuk tak menangis saat membacanya. Aku ingat ibu, betapa dulu aku tak terpikirkan mengucapkan kalimat seindah itu pada ibu. Saat aku seusia Delisa.

Bu, bagaimana kabar ibu sekarang, di saat aku jauh dari ibu aku justru selalu ingat ibu. Mungkin ini semua wajar, tapi tidak bagiku, ah akan sangat sulit menjelaskannya bu.

Bu, kadang aku rindu masa kecilku. Aku rindu saat ibu mengangkatku tinggi tiap kali ibu selesai memandikanku. Aku rindu saat ibu mengajakku bepergian, di sebuah angkutan umum, ibu begitu bangganya bercerita tentang aku pada penumpang. Ya memang tiap kali di angkutan umum bersama ibu, banyak penumpang yang sering tanya tentang aku. Aku memang mirip anak cina, putih dan sipit. Tapi ibu selalu bangga dengan itu. Ibu tak pernah berkeberatan apabila ada orang yang belum begitu ibu kenal memegangiku. 

Bu, menjadi dewasa adalah menjadi seseorang yang harus berani bertanggung jawab. Dulu sewaktu kecil aku selalu meminta pembenaran dari ibu tiap kali melakukan sesuatu yang tidak biasa. Ah masih ingatkah ibu, dulu tiap kali aku ingin membatalkan puasa (setelah bandel di siang bolong ramadhan bermain dan berlarian bersama teman-teman yang membuatku kehausan) aku selalu meminta pertimbangan ibu. Lama waktu itu aku merajuk, sampai akhirnya ibu luluh dan berkata: ya sudahlah. Aku tak pernah berani untuk sembunyi-sembunyi membatalkan puasaku, karena ibu tak pernah mengajarkan seperti itu . Dan sekarang bu, aku harus memutuskan sendiri tindakanku. Lalu akupun harus mempertanggungjawabkan sendiri tindakanku itu. Sekarang aku harus bisa menjaga diriku sendiri bu. Berat, berat sekali bu. Aku harus bisa menopang kedua kakiku agar tidak tergelincir, menjaga mulutku agar tidak kebablasan. Menjaga semuanya bu. Aku membayangkan begitu beratnya ibu harus menjaga kelima anak ibu.

Bu, kemarin saat terakhir kali aku pulang, ibu mengeluhkan kaki ibu yang linu-linu. Sekujur kaki (entah yang kanan atau kiri, aku lupa). Ibu bilang bahwa ibu sudah keliling ke berbagai dokter tapi belum juga ada hasilnya (sekarang sudah baikan tidak bu?). Saat itu aku terdiam bu, aku tak punya jawaban untuk itu, aku hanya menduga-duga apa penyebabnya itu. Ah andaikan aku dokter bu, mungkin aku bisa menjadi lebih bermanfaat bagi ibu kala itu, tapi aku hanyalah seorang chemical engineer, yang pekerjaannya mengotak-atik reactor, memformulasikan senyawa kimia. Tak begitu tahu masalah linu-linu.

Tapi ibu tak pernah sedih kan. Ibu menerima semua penyakit yang diberikan Tuhan itu dengan (ah sekali lagi) senyuman. Bahwa itu ujian dari Tuhan. Ibu tak pernah menyerah, itu bukanlah sebuah alasan untuk ibu menghentikan aktifitas ibu (walaupun ibu semain kesulitan berjalan). Tak ada yang bisa menghentikan ibu. Ah kemarin aku pun tak bisa menghentikan ibu yang sampai terhuyung-huyung memanen salak sendiri di kebun belakang rumah. Kenapa? Karena kau tahu salak itulah yang biasa aku bawa balik ke Surabaya setiap kali aku pulang. Bu, aku terenyuh memandangnya kala itu, memandang langkahmu yang tidak lagi tegap karena lebih banyak bertumpu pada satu kaki.

Aku takut bu, aku takut saat itu tak dapat kutemui. Aku takut aku belum sempat membahagiakan ibu. Aku takut ibu tak sempat menikmati buah dari perjuangan ibu itu. Aku tahu bu, ketakutanku tak beralasan sekali. Karena mungkin aku bisa saja mendahului ibu, tapi ah tetap saja bu, ketakutan itu, ketakutan melihat kerut diwajah ibu yang kian rata, ketakutan melihat gigi ibu yang semakin banyak yang tanggal, dan kemarin, ketakutan melihat langkah ibu yang semakin terhuyung-huyung digerogoti rematik. Ah aku takut bu. Bahkan semakin takut tiap kali aku mengingat dulu tiap kali ibu mengeluhkan kaki ibu yang sering linu dan meminta diolesi balsem sambil dipijiti, aku melakukannya dengan malas-malasan sambil bilang : dibuat tidur juga sembuh (yang langsung kau balas: mana mungkin bisa tidur nak kalau kaki linu begini). Padahal bu, padahal kau selalu ikhlas tiap kali mengurut kakiku yang keseleo setelah main sepak bola di lapangan.

Bu, apa yang ibu lakukan sekarang. Sudahkah ibu istirahat, sudahkah ibu sejenak mengistirahatkan kaki ibu. Ah kau memang tak pernah istirahat bu. Tiap kali kau merebahkan badan, ada saja yang menganggumu (termasuk aku), menanyakan hal-hal kecil, mengadu hal-hal kecil, meminta pertimbangan-pertimbangan. Kau memang muara segala hal bu. Semuanya akan menjadi ringan bila dilaporkan padamu. Kau selalu menenangkan. Entahlah, mungkin itu senjata yang diberikan Tuhan pada semua ibu di muka bumi. Kau tak perlu banyak berkata-kata, kau cukup memandang, dengan wajah teduhmu, dan semuanya terasa ringan kembali. Semuanya seolah bukanlah beban. Semua itu bu, semuanya, membuat aku bertambah sayang pada ibu. Aku mencintaimu bu, walau itu tak pernah terucap. Sama halnya kau tak pernah mengucap kata cinta pada anak-anakmu, tapi aku tahu kau mencintai kami bu. Kecintaanmu bahkan tak terwakili oleh kata cinta itu sendiri.

Akhirnya hanya itu yang mungkin bisa kuberikan bu. Semuanya menguap. Aku tergugu. Aku tak bisa berkata-kata lagi. Terlalu banyak kasih sayangmu yang coba aku ceritakan. Terlalu beragam senyummu yang coba aku terjemahkan. Semuanya terlalu sesak. Tak akan muat dalam lembaran kertas.

Maafkan anakmu ini bu, karena bahkan sampai segede ini masih sering merepotkanmu. 

Dan jika waktu bisa berputar ke belakang, sungguh bu, aku ingin kembali terlahir dari rahimmu.


Salam Rindu,


Anakmu yang tercinta



0 comments :

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Slide out post Recommended