Kisah Super

Sebuah Pelajaran: Singapura dan Valentine




Selama perjalanan menuju Australia melewati India dan Thailand beberapa tahun yang lalu, saya sempat singgah di Singapura, saat itu saya menyadari makna sebenarnya dari pesan Valentine….

Singapura adalah negara-kota yang sibuk, terdiri dari sekitar lima juta etnis Melayu, Tionghoa dan India, dengan keramah-tamahannya membantu ekspatriat Barat, dan saya pikir, pemandangan serta suasana dari “Kota Singa” ini akan menjadi sebuah kata perpisahan yang sempurna untuk Asia. Menurut saya, ini akan memberikan petualangan baru, mengajarkan saya beberapa pelajaran berharga dalam hidup yang telah gagal saya lihat, serta memberikan sebuah perasaan yang Holden Caufield sebut “semacam perpisahan”. Tetapi Singapura telah mengecewakan semua itu.

Karakter definitif Singapura bagi saya adalah kebersihan yang dimilikinya: sebuah kebersihan yang berminyak, seperti mesin yang telah bekerja keras tetapi dipertahankan dalam kondisi prima. Saya telah meninggalkan kehangatan serta keriuhan India, dan rimbunnya kehijauan serta senyuman wajah Thailand bagi Asia yang seperti dibedah dokter.

Meskipun losmen saya termasuk murah, setiap permukaannya digosok hingga mengilap. Lantai kamar mandinya selalu basah dikarenakan para backpacker yang sedang mandi, tidak pernah kering dari kelembaban di sepanjang hari, tetapi tanpa ada noda. Bahkan pasar Pecinan-nya tertib dan bersih, serta riuh terkendali.

Pengendalian ini teratur, saya belajar, dengan etos konservatif menjalankan seluruh masyarakat Singapura. Dengan berfokus pada stabilitas, negara ini diatur oleh hukum yang ketat ditambah dengan hukuman yang berat misalnya, hukuman mati bagi penyelundupan narkoba, atau larangan makan permen karet. Membuang sampah sembarangan, terutama yang lengket, merupakan larangan yang serius. Setelah menjadi pusat perdagangan lokal dan global, perekonomiannya sekarang didasarkan pada jasa keuangan, dan rakyat Singapura cukup kaya dengan menikmati standar hidup yang tinggi. Tapi selain dari sejumlah kecil orang yang berada di taman dan bar, saya hanya melihat orang Singapura melakukan dua hal – bekerja dan berbelanja.

Berbelanja hingga lelah tampaknya menjadi ritual sosial para kaum muda, yang mereka lakukan dalam jumlah besar di pusat-pusat perbelanjaan terkemuka pada malam hari. Meskipun panas berdesakan, sangat sekuler dan konsumeris, kehidupan kota terlihat seperti roda di kandang hamster yang rapi sekali. Setelah beberapa hari bahkan menjadi menyedihkan, begitu banyaknya sehingga dua hari kemudian, saya bergembira akan pemandangan yang begitu umum seperti di negara-negara lainnya: kemasan dari McDonald yang dibawa pulang, ditinggalkan sebagai sampah di trotoar. Sampah pertama yang saya lihat di Singapura, tampaknya hampir merupakan tindakan pembangkangan sipil, sesuatu yang disetujui oleh Winston Smith dalam Orwell’s Nineteen Eighty-Four.

Jadi, saat saya duduk di ruang tunggu keberangkatan pada hari berikutnya, seolah-olah saya telah melewatkan kesempatan, atau gagal untuk mempelajari sesuatu yang Singapura harus ajarkan. Saya mengambil sebuah koran yang tertinggal di kursi ruang tunggu, di sampingku, ada sebuah artikel menarik perhatian saya. Judulnya menjanjikan pada kaum perempuan Singapura bagaimana menemukan “seorang” pria impian mereka. Apapun maksud mereka, tampaknya orang Singapura benar-benar peduli dengan masalah yang sama seperti di tempat-tempat yang lainnya.

Artikel tersebut mengambil sebuah cerita kuno dari Alkitab, yaitu Rebekkah. Kisah ini menceritakan mengenai Abraham yang telah memutuskan untuk mencari seorang istri untuk anaknya, Ishak, dan mengutus seorang sesepuh yang dipercaya untuk menemukan gadis yang tepat. Menurut artikel itu, sesepuh tersebut berangkat ke padang gurun dengan untanya tanpa mengetahui apa sebenarnya yang ia cari. Seorang gadis cantik? Dari garis keturunan yang sesuai?

Pada saat pencerahan, ia menyadari bahwa jika ia bisa menemukan seorang gadis yang tidak hanya memberinya minum, tetapi juga memberi minum untuk untanya, maka ia telah menemukan pasangan yang cocok untuk Ishak. Setelah berkeliaran tanpa hasil selama berminggu-minggu, ia tiba di sebuah sumur pada malam hari, dimana ada seorang gadis muda cantik sedang mengambil air. Ia meminta gadis itu menggayungkan air untuk memuaskan rasa dahaganya, gadis itu memberinya air minum, sebelumnya menawarkan untuk memberi minum untanya.

Gadis itu mengatakan, rumah orangtuanya berada di atas bukit, dan dipersilahkan mampir untuk makan dan beristirahat di rumah mereka untuk semalam jika ia bersedia. Tergerak oleh belas kasih si gadis yang luar biasa terhadap orang asing, ia menerima, dan setelah mengatakan kepada orang tua gadis itu akan maksud tujuannya, ia membawa Rebekkah kembali bersamanya untuk dijadikan istri Ishak.

“Apa yang paling langka dari sifat manusia di dunia saat ini?” tanya penulis. “Yakni kebaikan.”

Artikel tersebut mendesak pembaca untuk melihat melebihi kecantikan fisik, kekayaan dan tolok ukur dangkal lainnya dan untuk melihat hatinya daripada yang lainnya. “Jika seorang pria mengajak Anda makan malam,” katanya, “kurangi fokus pada bagaimana dia memperlakukan Anda, namun lebih perhatikan bagaimana dia memperlakukan pelayan.” Untuk menemukan seseorang yang dapat menghabiskan hidup bersama anda dengan orang yang benar-benar baik dan memberi Anda keberuntungan yang tak dapat diukur, katanya, dan untuk mengenali mereka haruslah menjadi bijaksana.

Saya naik pesawat sambil tersenyum, ingin menggunakan saran ini sepenuhnya, dan menemukan seorang gadis seperti Rebekkah. Dengan berlalunya waktu, saya menyadari bahwa kebaikan merupakan karakteristik yang membedakan orang baik terpisah dari semua orang lainnya, apapun hubungan mereka terhadap kita.

Karena saya percaya akan takdir, saya kemudian menyadari bahwa, jika kita mencari seseorang, mereka pasti mencari kita juga. Kita bisa membuat pencarian mereka jauh lebih mudah jika kita baik hati pada diri sendiri. Jika setiap pikiran dan perbuatan kita adalah sebuah kebaikan, maka akan terlihat. Ini akan dihargai. Dan seseorang yang mengerti nilai-nilai kebaikan akan digerakkan olehnya. Dan “seseorang” akan menemukan Anda.

Terkadang Anda memang harus melakukan perjalanan ke separuh dunia untuk mempelajari pelajaran hidup yang paling sederhana dan mendasar.

Terima kasih, Singapura.  (Alan McDonnell / The Epoch Times / hty)


Pesan:

"Bersandarlah pada-Nya, maka niscaya akan menjadi indah pada waktunya!"


0 comments :

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Slide out post Recommended