Kisah Super

Ukurlah kemajuan Anda tahun ini dengan prestasi Anda tahun lalu



Di suatu hutan, hiduplah seekor belalang muda yang cerdik. Belalang muda ini adalah merupakan belalang dengan lompatan tertinggi di antara para keluarga belalang. Ia sangat membanggakan kemampuannya tersebut. Sehari-harinya ia melompat dari tanah lalu hinggap ke dahan-dahan pohon yang tinggi untuk memakan dedaunannya. 

Suatu hari dari atas pohon tersebut, ia memandangi satu desa nun jauh yang kelihatannya indah dan sejuk. Satu keinginan terbersit di hatinya untuk suatu hari melakukan perjalanan ke sana. Dan datanglah hari yang dinantikannya. Teman setianya, seekor burung merpati, mengajaknya untuk terbang dan pergi ke desa tersebut. 

Dengan luapan semangat, kedua sahabat itu pergi bersama. Setelah mendarat mereka mulai berjalan-jalan melihat keindahan desa itu. Akhirnya mereka sampai di suatu taman yang indah berpagar tinggi, yang dijaga oleh seekor anjing besar. 

Belalang muda pun bertanya kepada anjing, “Siapakah kamu, dan apa yang kamu lakukan di sini?” “Aku adalah anjing penjaga taman ini. Aku dipilih oleh majikanku karena aku adalah anjing terbaik di desa ini,” jawab anjing dengan congkak. Mendengar perkataan si anjing, hati belalang muda jadi panas. Dia lalu berkata lagi, “Oh ho..., tidak semua binatang bisa kamu kalahkan. Aku menantangmu untuk membuktikan bahwa aku bisa mengalahkanmu. Aku menantangmu untuk bertanding melompat, siapakah yang lompatannya paling tinggi diantara kita.” “Baik,” jawab si anjing. “Ada pagar tinggi di depan sana. Mari kita bertanding, siapakah yang bisa melompati pagar tersebut.” Keduanya lalu berbarengan menuju ke pagar tersebut. 

Si anjing yang mendapat kesempatan pertama melakukan lompatan. Setelah mengambil ancang-ancang, anjing itu lalu berlari dengan kencang, melompat, dan berhasil melompati pagar yang setinggi orang dewasa tersebut. Berikutnya giliran si belalang muda. Dengan sekuat tenaga belalang tersebut melompat. Namun, ternyata kekuatan lompatannya hanya mencapai tiga perempat tinggi pagar tersebut, dan kemudian belalang itu jatuh kembali ke tempatnya semula. Ia lalu mencoba melompat lagi dan melompat lagi, namun ternyata tetap gagal. 

Si anjing lalu menghampiri belalang dan seraya tertawa berkata, “Wahai, belalang, kini apa lagi yang mau kamu katakan? Kamu sudah kalah.” “Belum,” jawab si belalang. “Tantangan pertama tadi kamu yang menentukan. Beranikah kamu sekarang jika saya yang menentukan tantangan kedua?” “Apa pun tantangan itu, aku siap,” tukas si anjing. Belalang lalu berkata lagi, “Tantangan kedua ini sederhana saja. Kita berlomba melompat di tempat. Pemenangnya akan dinilai bukan berdasarkan seberapa tinggi dia melompat, tapi berdasarkan dari lompatan yang dilakukan tersebut berapa kali dari tinggi tubuhnya.” Anjing kembali yang mendapatkan kesempatan pertama. Dari hasil lompatannya, ternyata anjing berhasil melompat setinggi empat kali tinggi tubuhnya. Berikutnya adalah giliran si belalang. Lompatan belalang hanya setinggi setengah dari lompatan anjing, namun ketinggian lompatan tersebut ternyata setara dengan empat puluh kali tinggi tubuhnya. Dan belalang pun menjadi pemenang untuk lomba yang kedua ini. 

Kali ini anjing menghampiri belalang dengan rasa kagum. “Hebat. Kamu menjadi pemenang untuk perlombaan kedua ini. Tapi pemenangnya belum ada. Kita masih harus mengadakan lomba ketiga,” kata si anjing. “Tidak perlu,” jawab si belalang. “Karena, pada dasarnya pemenang dari setiap perlombaan yang kita adakan adalah mereka yang menentukan standar perlombaannya. Pada saat lomba pertama kamu yang menentukan standar perlombaannya dan kamu yang menang. Demikian pula lomba kedua saya yang menentukan, saya pula yang menang.” “Intinya adalah, kamu dan saya mempunyai potensi dan standar yang berbeda tentang kemenangan. Adalah tidak bijaksana membandingkan potensi kita dengan yang lain. Kemenangan sejati adalah ketika dengan potensi yang kamu miliki, kamu bisa melampaui standar dirimu sendiri.” 

Cerita sederhana di atas pernah membuat saya malu pada diri sendiri. Saat masih berumur awal 30-an tahun, seringkali saya membanding-bandingkan diri dengan orang lain. Membandingkan antara profesi saya dengan profesi si A, antara pendapatan saya dan pendapatan si B, antara mobil saya dengan mobil si C, antara kesuksesan saya dengan kesuksesan si D, dan seterusnya. Hasilnya? Tak jarang muncul perasaan-perasaan negatif, seperti iri hati atau kecewa pada diri sendiri, hingga rasa syukur atas nikmat pun jadi teraniaya. Namun kala yang lain muncul juga semacam motivasi untuk bisa lebih maju dan berusaha lebih tekun agar bisa melampaui orang lain. 

Belakangan, saya menemukan cara bersaing yang lebih cocok untuk diri sendiri. Saya mulai mengukur kemajuan saya tahun ini berdasarkan prestasi saya tahun lalu. Saya tetapkan bahwa tahun ini saya harus lebih sehat dari tahun lalu; pendapatan dan sumbangan tahun ini diupayakan lebih tinggi dari tahun lalu; pengetahuan yang disebarkan tahun ini ditingkatkan dari tahun lalu; relasi dan tali silahturahmi juga direntangkan lebih lebar; kualitas ibadah diperdalam; perbuatan baik dipersering; dan seterusnya. Dengan cara ini, saya ternyata lebih mampu mengatasi penyakit-enyakit seperti iri hati, dengki, dan rasa kecewa pada diri. Berlomba untuk memecahkan rekor pribadi yang baru, melampaui rekor yang tercapai di masa lalu, ternyata menimbulkan keasyikan dan rasa syukur yang membahagiakan 


Sumber: Memecahkan Rekor oleh Andrias Harefa.



0 comments :

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Slide out post Recommended