Kisah Super

Autisme bukan hambatan untuk sukses



Nama Temple Grandin memang kurang dikenal di Indonesia. Namun, namanya sudah sangat dikenal luas di Amerika Serikat, terutama jika dihubungkan dengan dunia autisme. Tapi, kini kita bisa melihat kisah perjalanannya melalui film televisi berjudul Temple Grandin yang dibintangi Claire Danes.


Temple Grandin lahir di Boston, Massachusetts pada 29 Agustus 1947. Sebelum didiagnosis mengidap autis pada 1950, awalnya Grandin didiagnosis mengidap kerusakan otak ketika berusia dua tahun. Ia pun dimasukkan ke sebuah kelompok bermain yang guru-gurunya dianggap bisa memahami kondisi Grandin. Sesuai saran dokter, Ibu Grandin menyewa seorang terapi wicara.

Ketidakmampuan untuk berbicara membuat Grandin frustrasi. Jika seorang dewasa berbicara langsung kepadanya, ia dapat memahami apa yang mereka katakan, tapi ia kesulitan mengeluarkan kata-kata yang ingin diucapkan. Terapis wicara itu tahu betul bagaimana cara masuk ke dalam dunia Grandin. Ia akan memegang dagu Grandin dan membuat Grandin menatap matanya dan kemudian berkata sepatah kata. Jika si terapis terlalu memaksa, Grandin biasanya akan mengamuk (tantrum). Namun, semua ketidaknyamanan ini memang harus dialami Grandin. Karena tanpanya, tidak akan ada perkembangan berarti yang bisa dicapai Grandin saat itu.

Akhirnya pada usia empat tahun, Grandin mulai bisa berbicara dan mulai memperlihatkan perkembangan dari waktu ke waktu. Grandin menyebutkan bahwa masa-masa sekolah dasar dan menengah merupakan masa terburuk dalam hidupnya. Ia merupakan ”anak aneh” yang menjadi bahan ejekan dan lelucon anak-anak lainnya. Untuk membantu perkembangan kondisinya, Grandin mengonsumsi obat anti depresi secara teratur dan menggunakan ”squeeze-box” (mesin peluk) yang diciptakannya pada usia 18 tahun sebagai bentuk terapi personal. Beberapa tahun kemudian, kondisinya itu dapat dikenali dan ia didiagnosis menderita sindrom asperger, salah satu gejala autisme.

Meski perjuangan belajarnya bisa dikatakan habis-habisan, Grandin mampu menyelesaikan sekolahnya di Hampshire Country School di Rindge, New Hampshire. Setelah itu, ia meneruskan pendidikannya ke universitas. Ia berhasil meraih gelar sarjana jurusan psikologi dari Franklin Pierce College pada 1970, gelar master jurusan pengetahuan binatang dari Arizona State University pada 1975, dan gelar doktor jurusan pengetahuan binatang dari University of Illionis di Urbana Champaign pada 1989. Bagi seorang penyandang autis, tentu prestasinya ini sangat luar biasa.

Setelah menyelesaikan pendidikannya, Grandin menggunakan pengalamannya sebagai penyandang autis untuk memberikan konsultasi dalam mengenali autis sejak dini. Ia juga memberikan konsultasi kepada para guru, sehingga dapat memberikan penanganan langsung kepada anak autis dengan cara yang lebih tepat. Grandin pun akhirnya dianggap sebagai pemimpin filosofis bagi gerakan kesejahteraan binatang dan konsultasi autis.

Kedua gerakan itu pada umumnya berhubungan dengan karya-karya tulis Grandin yang bertemakan kesejahteraan binatang, neurologi, dan filosofi. Pada 2004, ia meraih penghargaan Proggy untuk kategori ”Visionary” dari People for the Ethical Treatment of Animals. Karya-karya tulisnya mengenai autisme yang ditulisnya dari sudut pandang penyandang autis, sangat membantu para ahli dan dunia kedokteran dalam membantu penanganan autis. Karya-karyanya, antara lain “Journal of Autism and Developmental Disorders” dan “Emergence: Labelled Autistic”.

Luar biasa sekali prestasi yang dicapai Dr. Temple Grandin. Tentunya, hal ini menjadi pencerahan bagi para penyandang autis dan gangguan perkembangan lainnya di seluruh dunia.


(kisahkasih)



0 comments :

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Slide out post Recommended